Kamis, 30 Mei 2013

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses to learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemendirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas layanan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan di tantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivisme dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan kepada tujuan tersebut.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari teori belajar konstruktivisme ?
2.      Bagaimana cara untuk mengkontruksi suatu pengetahuan ?
3.      Bagaimana proses belajar menurut teori belajar konstruktivisme ?
4.      Bagaimana cara belajar matematika menurut paham konstruktivisme ?
5.      Bagaimana penerapan pendekatan deduktif dalam teori belajar konstruktivisme ?
6.      Bagaimana penerapan metode demonstrasi dalam teori belajar kontruktivisme ?
7.      Bagaimana perbandingan antara pembelajaran tradisional (behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme ?
8.      Apakah kelebihan dan kekurangan dari teori belajar kontruktivisme ?

C.   Tujuan
Setelah mempelajari teori belajar konstruktivisme, mahasiswa diharapkan :
1.      Dapat memahami teori belajar konstruktivisme.
2.      Dapat mengetahui cara untuk mengkontruksi suatu pengetahuan.
3.      Dapat memahami proses belajar menurut teori belajar konstruktivisme
4.      Dapat mengetahui cara belajar matematika menurut paham konstruktivisme.
5.      Dapat menerapkan pendekatan deduktif dalam teori belajar konstruktivisme.
6.      Dapat menerapkan metode demonstrasi dalam teori belajar kontruktivisme.
7.      Dapat membandingkan pembelajaran tradisional (behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme.
8.      Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teori belajar kontruktivisme.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Teori Belajar onstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, bergelut dengan ide – ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada penjelasan tentang pengetahuan tersebut dari kacamatasiswa sendiri. Guru dalam pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno ( 1997 : 66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut.
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses penelitian.
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan - gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.      Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
4.      Memonitor, mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip konstrukstivisme Piaget menurut De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70).yang perlu diperhatikan dalam pembelajarn matematika antara lain adalah :
1.      Struktur psikilogi harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan dikembangkan.Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima stuktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan ada jalan.
2.      Stuktur psikologi ( skemata ) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
3.      Siswa harus mendapatkan kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
4.      Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa yang menghafal saja.
Dalam teori konstruktivisme ini lebih mengutamakan pada pembelajaran siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah kompleks untuk dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. (Ratna, 1988: 181)
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu: (1) pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap; (2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. (3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai. (4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

B.   Kontruksi Pengetahuan
Menurut teori belajar kontruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan suatu kontruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus berkembang karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkontruksi pengetahuan adalah kontruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru ingin mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pengetahuan itu akan diinterpretasikan dan dikontruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan, yaitu : 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya.
Menurut pandangan Piaget dan Vigotsky adanya hakikat sosial dari sebuah proses belajar dan juga tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan angotanya yang beragam, sehingga terjadi perubahan konseptual. Piaget menekankan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan.  

C.   Proses Belajar Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Proses belajar jika dipandang dari konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada struktur kognitifnya. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran orang itu memiliki skema “balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian meniupnya lagi sampai besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai besar, ia tetap memiliki skema tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya tentang balon diperluas dan terici lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang menggelembung karena terisi udara, melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi merupakan salah satu proses individu dalam  mengadaptasikan dan mengoirganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu berkembang.
Seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak memiliki skema bahwa semua binatang berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya terhadap binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan menemukan banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut merasakan bahwa skema lamanya tidak sesuai lagi dan terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan atau lebih dari empat.
Kegiatan belajar mengajar lebih dipandang dari segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang ada. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individual tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaingan sosial yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, meyusun konsep dan member makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang  dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Dalam belajar konstruktivisme guru atau pendidik berperan membantu agar proses membangun pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauanya.
Peran kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi;
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkontruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

D.   Belajar Matematika menurut Paham Konstruktivisme
Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Suherman, 2001) Para ahli konstruktivisme yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas. Selanjut Cobb (Suherman, 2001) mengatakan bahwa belajar matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif menkonstruksi pengetahuan matematika. Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan intelegensinya dalam setting matematika.
Lebih jauh lagi para ahli konstrutivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar,  keterampilan algoritma, proses heuristik dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi . Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dkk (1992) menguraikan bahwa “belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi aktif dalam latihan matematika di kelas.

E.   Pendekatan Deduktif Dalam Teori Belajar Konstruktivisme
Pendekatan deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi ke hal yang khusus. Dalam pendekatan deduktf, tidak menerima generalisasi dari hasil observasi seperti yang diperoleh dari pendekatan induktif. Dasar pendekatan deduktif adalah kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang benar. Kalau begitu bagaimana untuk menyatakan kebenaran yang paling awal?. Untuk mengatasi hal ini dalam pendekatan deduktif memasukkan beberapa pernyataan awal/pangkal sebagai suatu “kesepakatan’, yang diterima kebenarannya tanpa pembuktian, dan istilah/pengertian pangkal yang kita sepakati maknanya. Pengertian pangkal merupakan pengertan yang tidak dapat didefinisikan. Titik, garis, dan bidang merupakan contoh-contoh pengertian pangkal, sebab titik, garis, dan bidang dianggap ada tapi tidak dapat dinyatakan dalam kalimat yang tepat. Pernyataan-pernyataan pangkal yang memuat istilah atau pengertian tersebut dinamakan aksioma atau postulat Dengan pendekatan deduktif dari kumpulan aksioama yang menggunakan pengertian pangkal tersebut, kita dapat sampai kepada teorema-teorema yaitu pernyataan-pernyataan yang benar.
Contoh :
(1)   Sesuatu yang sama dengan sesuatu yang lain, satu sama lain sama
(2)   Jika ditambahkan kepada yang sama maka hasilnya sama.
(3)   Keseluruhan lebih besar bagiannya.
Dari ke tiga contoh aksioma tersebut dapat diperoleh berikut ini
a)      Dari aksioma (1) dan aksioma (2) dapat disusun pernyataan benar sebagai berikut. Jika x = y maka x + a = y + a.
b)      Dari aksioma (3) dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika y bagian dari x maka x > y
Dengan demikian diperoleh, jika x > y, maka x + a > y + a
Contoh penerapan pendekatan deduktif,  jumlah n buah bilangan asli ganjil pertama adalah : nn. Perhatikan pola berikut :
1 = 11
1 + 3 = 4 = 22
1 + 3 + 5 = 9 = 33
1 + 3 + 5 + 7 = 16 = 44
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Secara deduktif pembuktian kebenaran pola itu adalah sebagai berikut (induksi matematika). Jumlah n suku pertama adalah :
1 + 3 + 5 + ... + (2n-1) = nn
Untuk n = 1, persamaan diatas menjadi 1 = 11. Ini benar. Kemudian, andaikan persamaan itu benar untuk n = k, maka :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) = kk
Kita tambahkan 2(k+1) – 1 kepada ruas persamaan terakhir. Maka diperoleh :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) + (2k+1) - 1 = kk + 2(k+1) – 1 = k2 + 2k+1=(k + 1)(k + 1)
bentuk 1 + 3 + 5 + ... + (2k – 1) + 2(k + 1) - 1 = (k + 1)  (k + 1) tidak lain dari bentuk persamaan pertama untuk n = 1, n = k, dan n = k + 1 maka persamaan itu benar untuk semua n bilangan asli
Untuk membuktikan teorema dan menentukan jawab soal yang menggunakan pendekatan deduktif pola berpikirnya sama, yaitu menentukan dulu aturan untuk memberlakukan keadaan khusus hingga didapat kesimpulan. Selanjutnya erat pula kaitannya dengan generalisasi deduktif dalam matematka adalah cara-cara pembuktian dalil / aturan /sifat. Dalil / aturan / sifat dalam matematika merupakan generalisasi yang dapat dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Untuk keperluan itu, ada beberapa macam cara pembuktian yang umumnya sudah jelas terlihat proses deduktifnya, seperti cara modus ponen,modus tolens, implikasi positif, kontra posititif, kontra contoh, bukti tidak langsung, dan induksi matematika (Ruseffendi 1992: 32 ).

F.    Penerapan Metode Demonstrasi dalam Teori Belajar Kontruktivisme
Metode demonstrasi sejenis dengan metode ceramah dan ekspositori. Kegiatan belajar mengajar berpusat pada guru. Tetapi dalam metode demonstrasi aktivitas siswa lebih banyak lagi dilibatkan. Dengan demikian, aktivitas guru menjadi semakin berkurang.
Ciri khas dari metode demonstrasi adalah penonjolan dari suatu kemampuan, misalnya kemampuan guru atau siswa dalam membuktikan teorema, menurunkan rumus, dan menyelesaikan soal cerita. Sedangkan yang berhubungan dengan alat peraga, misalnya penggunaan sepasang segitiga untuk menggambarkan dua garis sejajar atau garis tegak lurus, penggunaan jangka untuk membuat lukisan-lukisan geometri, penggunaan mistar untuk membuat diagram batang/garis atau kalkulator sebagai alat perhitungan dalam matematika.

G.  Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behaviorisme) dan Pembelajaran Konstruktivisme
 Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan teori pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahami dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
 Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
 Berbeda dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivisme lebih luas dan sukar untuk dipahami.
 Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:

Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivisme
1.      Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ketrampilan dasar.
1.         Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.      Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
2.      Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.      Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4.      Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.      Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
5.      Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengmati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.      Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6.      Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja didalam group process.

H.  Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kontruktivisme
 Kelebihan dari teori kontruktivisme, diantaranya :
a.       Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
b.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka.
c.       Memberi siswa kesempatan untuk berfikir lebih mengenai suatu masalah.
d.      Memberi kesempatan siswa untuk selalu mencoba gagasan-gagasan baru dalam menyelesaikan suatu masalah.
Adapun kekurangan dalam teori belajar kontruktivisme, diantaranya :
a.       Perlu adaptasi terlebih dahulu untuk belajar mandiri dalam membangun pengetahuannya.
b.      Ketidaksediaan murid untuk merancang strategi berfikir dan ketidaksediaan murid untuk menilai sendiri suatu masalah menurut pengalamannya.
c.       Kondisi setiap sekolah berbeda-beda dan tidak semua sekolah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk melatih siswa berfikir kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga siswa kurang dapat mengembangkan pengetahuannya. 




BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
 Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Teori belajar konstruktivisme yang berdasarkan pada teori Piaget dan Vigotsky menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan dan adanya pengaruh lingkungan sosial yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba, akan mampu mewujudkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dan berpikir kritis.
 Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terajadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

B.   Saran
Sebaiknya dalam pembelajaran matematika, diterapkan teori belajar kontruktivisme. Hal ini penting, mengingat dengan pendekatan seperti ini, maka siswa akan mampu berpikir lebih kritis dalam menghadapi masalah berupa sejumlah soal. Siswa juga mampu mengembangkan ide-idenya, sehingga membuat daya pikir mereka lebih kritis. Dengan pendekatan kontruktivisme ini, kemandirian siswa juga dapat diwujudkan dalam menyelesaikan permasalahan berbagai macam soal dan mampu mengembangkan konsep-konsep matematika.



DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Erlangga: Jakarta.

Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
          . Bandung: JICA UPI Bandung.


PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN DAN SOLUSINYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda beda menghasilkan keragaman kebudayaan . Tiap persekutuan hidup manusia ( masyarakat , suku, atau bangsa ) memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain . kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain . Dengan demikian , kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.
Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain , demikian pula terjadi hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia . Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan . Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan kebudayaan , perubahan kebudayaan , dan penyebaran kebudayaan.

B.   Rumusan Masalah
1. Bagaimana problematika kebudayaan dewasa ini yang muncul dari Pewarisan budaya, Perubahan budaya dan Penyebaran budaya?
2. Bagaimana solusi untuk mencegah dan mengatasi problematika kebudayaan tersebut?

C.   Tujuan Dan Manfaat
1.      Tujuan
Mengetahui problematika kebudayaan dewasa ini yang muncul dari pewarisan budaya, perubahan budaya dan penyebaran budaya dan memberikan solusi untuk mencegah dan mengatasi problematika kebudayaan tersebut.
2.      Manfaat
Diharapkan dari bahasan ini, akan diperoleh beberapa manfaat, diantaranya :
a.       dapat mengetahui problematika dalam kebudayaan di Indonesia
  1. dapat menambah pengetahuan mengenai pewarisan budaya, perubahan budaya dan penyebaran budaya
  2. memperoleh solusi untuk mencegah dan mengatasi problematika kebudayaan tersebut

























BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A.   Pewarisan Kebudayaan
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan , penerusan , pemilikan , dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan . Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan , dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang .
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi . Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaanya . Proses Enkulturasi dimulai sejak dini , yaitu masa kanak-kanak , bermula dari lingkungan keluarga , teman teman sepermainan , dan masyarakat luas . Sosialisasi atau proses pemasyarakatan adala individu menyesuaikan diri dengan individu lain dengan masyarakat nya .
Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain : sesuai atau tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat saat sekarang , penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut , dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan .
Dalam suatu kasus , ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak diwariskan oleh generasi pendahulunya . Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut , bahkan dianggap bertolak belakang dengan nilai nilai budaya baru yang diterima sekarang ini .

B.   Perubahan Kebudayaan
Perubahan Kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidak sesuaian di antara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan.Perubahan kebudayan mencakup banyak Aspek,baik bentuk,sikap perubahan,dampak perubahan,dan mekanisme yang dilaluinya.Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan kebudayaan.Pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress  (kemunduran) bukan progress (kemajuan);perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi,berlangsung cepat,dan diluar kendali manusia .

C.   Penyebaran Kebudayaan
Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur – unsur kebudayaan dari suatu kelompok kekelompok  lain  atau suatu masyarakat ke masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat disuatu wilayah bisa menyebar kemasyarakat wilayah lain. Misalnya , kebudayaan dari masyarakat Barat  (Negara – Negara Eropa)  masuk danmemengaruhi kebudayaan Timur(bangsa Asia dan Afrika).Globalisasi budaya bisa dikatakan  pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara meluas.
Dalam hal penyebaran kebudayaan,seorang sejarawan Arnold J. Toynbee merumuskan beberapa dalil tentang radiasi budaya sebagai berikut
Pertama, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan,melainkan individual.Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur pada  abad ke-19 tidak masuk secara keseluruhan.Dunia Timur tidak mengambil budaya Barat secara keseluruhan,tetapi unsur tertentu,yaitu teknologi.Teknologi merupakan unsure yang paling mudah di serap.Industrialisasi di Negara –negara Timur merupakan pengaruh dari kebudayaan Barat.
Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya. Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima. Contoh religi adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang barat (Kristen) sulit diterima oleh orang Timur dibanding teknologinya. Alasannya, religi merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi merupakan lapisan luar dari budaya.
            Ketiga, jika satu unsur masuk maka akan menarik unsur budaya lainnya. Unsur teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya asing melalui orang-orang asing yang berkerja di industri teknologi tersebut.
            Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi. Dalam hal ini, Toynbee memberikan contoh nasionalisme. Nasionalisme sebagai hasil evolusi social budaya dan menjadi sebab tumbuhnya Negara-negara nasional di Eropa abad ke-19 justru memecah belah system kenegaraan di dunia Timur, seperti kesultanan dan kekhalifahan di Timur Tengah.
            Penyebaran kebudayaan (difusi) bisa menimbulkan masalah. Masyarakat penerima akan kehilangan kehilangan nilai-nilai budaya local sebagai akibat kuatnya budaya asing yang masuk. Contoh globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan Barat pada era sekarang ini adalah masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi dampak negatif bagi perilaku sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, pola hidup konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan individualistik. Akibatnya nilai budaya bangsa, seperti kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari masyarakat Indonesia.
            Pada dasarnya, difusi merupakan bentuk kontak antaar kebudayaan. Selain difusi bentuk kebudayaan dapat pula berupa akulturasi dan asimilasi. Akulturasi berarti pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang berbeda. Akulturasi merupakan kontak antarkebudayaan namun masing-masing masih menunjukkan unsur kebudayaannya. Asimilasi berarti peleburan antarkebudayaan yang bertemu. Asimilasi terjadi karena proses yang berlangsung lama dan intensif antara mereka yang berlainan latar be;akang, ras, suku, bangsa, dan kebudayaan. Pada umumnya asimilasi menghasilkan budaya baru.

D.   SOLUSI MENGATASI PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN
1. Prioritas pada masalah
Penyimpangan seperti sudah benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai, asumsi, keyakinan atau pengalaman hidup kita. Karena penyimpangan itu pasti banyak kalau dicari apalagi dicari-cari, maka sebaiknya kita perlu membuat prioritas penyelesaian penyimpangan.
Manfaatnya adalah untuk menghindari keinginan-keinginan yang ditunggangi dorongan keinginan atau mood sesaat. Terkadang, kita menginginkan situasi atau kondisi yang langsung baik dan sempurna dari seluruh segi yang sama persis seperti firman kitab suci, sama persis seperti saran konsultan, atau sama persis seperti khutbah para pakar manajemen di buku-buku. Padahal, secara resource, kita belum mampu ke sana. Kesempurnaan itu adalah upaya untuk selalu menyempurnakan kekurangan / penyimpangan.
Selain itu, memutuskan perbaikan yang dasarnya masalah, akan membuat keputusan kita lebih membumi, lebih memfokus, lebih riil sasarannya. Para motivator sering mengatakan pikiran ini akan bekerja lebih bagus kalau diberi sasaran yang lebih jelas, lebih spesifik, atau lebih terukur. Sebaliknya, ia akan "bingung" kalau disuruh memikirkan sasaran yang tidak jelas, terlalu normatif, atau terlalu abstrak.

2. Konseptualisasi
Agar kemauan kita itu menjadi pemahaman bersama, kita perlu mengkonsepkannya, menyatakannya dalam bentuk pedoman yang bisa dipahami orang lain. Beberapa organisasi memang telah memiliki rumusan tertulis dari nilai-nilai yang diinginkan untuk terwujud dalam praktek. Tetapi ini masih banyak juga yang belum memiliki.
Selain bisa menjadi instrumen pemahaman bersama, rumusan tertulis juga akan menjadi pedoman perlakuan. Ini supaya jangan sampai kita tidak care terhadap penyimpangan dan tidak care pula terhadap prestasi atau performansi kerja sebagian orang. Jangan sampai karyawan memendam kesimpulan:
Jika kita menginginkan budaya yang positif dan lingkungan kerja yang mendukung, kita pun perlu mendukung (memberi reward) orang-orang yang sudah menunjukkan dukungannya. Dan pada saat yang sama, kita pun perlu memberikan punishment kepada orang yang terbukti menunjukkan penyimpangannya. Kelemahan kita, terkadang, kita menginginkan kebaikan, tetapi kurang appreciate pada orang yang baik dan lemah ATAU ignorance (tidak peduli (acuh tak acuh) menghadapi orang yang tidak baik.

3. Membuka fasilitas dan peluang pembelajaran
Pengalaman kita bersama menunjukkan bahwa untuk membuat orang melakukan sesuatu, ini membutuhkan effort yang jauh lebih banyak dibanding dengan membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu. Yang terakhir ini cukup dengan diberi tahu melalui mulut atau tulisan. Adapun untuk yang pertama, apalagi jika yang kita inginkan menjadi budaya, pasti tidak cukup dengan identikasi masalah prioritas dan konseptualisasi keinginan.
Budaya menyimpang, perlu diluruskan melalui proses belajar yang benar agar hasilnya benar. Esensi mendasar dari prinsip pembelajaran ini adalah memperbaiki keadaan (mengubah ke arah yang lebih baik) dengan cara melakukan sesuatu (proses) berdasarkan masalah yang muncul dengan berbagai cara yang mungkin. Intinya, kita tidak melihat penyimpangan budaya yang terjadi sebagai sebuah kesimpulan akhir, melainkan sebagai sebuah proses untuk diperbaiki. Kita tidak melihat penyimpangan sebagai penyimpangan tetapi sebagai isyarat untuk melakukan perubahan dan pengembangan..
Adapun bentuk fasilitas itu bisa kita sesuaikan berdasarkan keadaan, kemampuan dan keinginan. Pokoknya, apapun fasilitas yang bisa menyentuh orang untuk terdorong memperbaiki keadaan (dirinya, orang lain, dan lingkungan), itu perlu kita buka, dari mulai yang paling mahal sampai yang paling gratis menurut ukuran kita. Ini misalnya saja, training, konseling, coaching, teaching, dialog, pertemuan rutin, pengawasan langsung, pengarahan, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
Dari bahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kedimpulan, sebagai berikut:
1.     Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain : sesuai atau tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat saat sekarang , penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut , dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan
2.     Dalam hal perubahan budaya bisa memuunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress  (kemunduran) bukan progress (kemajuan);perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi,berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.
3.     Dalam hal penyebaran budaya bisa memuunculkan masalah, diantaranya masyarakat penerima akan kehilangan kehilangan nilai-nilai budaya local sebagai akibat kuatnya budaya asing yang masuk.

B.   Saran
Dalam mengatasi problematika kebudayaan, hendaknya diperlukan hal-hal sebagai berikut:
1.        Prioritas pada masalah
2.        Konseptualisasi
3.        Membuka fasilitas dan peluang pembelajaran










DAFTAR PUSTAKA

Herimanto. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.