Sabtu, 01 Juni 2013

ADA INFO BEASISWA LHO . . .

Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun ketiga. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 dan 2012, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2013 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini!
Pendaftaran periode 1 : 1 Februari – 30 Juni 2013
Pengumuman                : 10 Juli 2013

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 31 Desember 2013
Pengumuman                : 13 Januari 2014

website Beasiswa DataPrint
website DataPrint

Kamis, 30 Mei 2013

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses to learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemendirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas layanan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan di tantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivisme dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan kepada tujuan tersebut.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari teori belajar konstruktivisme ?
2.      Bagaimana cara untuk mengkontruksi suatu pengetahuan ?
3.      Bagaimana proses belajar menurut teori belajar konstruktivisme ?
4.      Bagaimana cara belajar matematika menurut paham konstruktivisme ?
5.      Bagaimana penerapan pendekatan deduktif dalam teori belajar konstruktivisme ?
6.      Bagaimana penerapan metode demonstrasi dalam teori belajar kontruktivisme ?
7.      Bagaimana perbandingan antara pembelajaran tradisional (behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme ?
8.      Apakah kelebihan dan kekurangan dari teori belajar kontruktivisme ?

C.   Tujuan
Setelah mempelajari teori belajar konstruktivisme, mahasiswa diharapkan :
1.      Dapat memahami teori belajar konstruktivisme.
2.      Dapat mengetahui cara untuk mengkontruksi suatu pengetahuan.
3.      Dapat memahami proses belajar menurut teori belajar konstruktivisme
4.      Dapat mengetahui cara belajar matematika menurut paham konstruktivisme.
5.      Dapat menerapkan pendekatan deduktif dalam teori belajar konstruktivisme.
6.      Dapat menerapkan metode demonstrasi dalam teori belajar kontruktivisme.
7.      Dapat membandingkan pembelajaran tradisional (behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme.
8.      Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teori belajar kontruktivisme.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Teori Belajar onstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, bergelut dengan ide – ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada penjelasan tentang pengetahuan tersebut dari kacamatasiswa sendiri. Guru dalam pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno ( 1997 : 66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut.
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses penelitian.
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan - gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.      Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
4.      Memonitor, mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip konstrukstivisme Piaget menurut De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70).yang perlu diperhatikan dalam pembelajarn matematika antara lain adalah :
1.      Struktur psikilogi harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan dikembangkan.Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima stuktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan ada jalan.
2.      Stuktur psikologi ( skemata ) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
3.      Siswa harus mendapatkan kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
4.      Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa yang menghafal saja.
Dalam teori konstruktivisme ini lebih mengutamakan pada pembelajaran siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah kompleks untuk dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. (Ratna, 1988: 181)
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu: (1) pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap; (2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. (3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai. (4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

B.   Kontruksi Pengetahuan
Menurut teori belajar kontruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan suatu kontruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus berkembang karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkontruksi pengetahuan adalah kontruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru ingin mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pengetahuan itu akan diinterpretasikan dan dikontruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan, yaitu : 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya.
Menurut pandangan Piaget dan Vigotsky adanya hakikat sosial dari sebuah proses belajar dan juga tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan angotanya yang beragam, sehingga terjadi perubahan konseptual. Piaget menekankan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan.  

C.   Proses Belajar Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Proses belajar jika dipandang dari konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada struktur kognitifnya. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran orang itu memiliki skema “balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian meniupnya lagi sampai besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai besar, ia tetap memiliki skema tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya tentang balon diperluas dan terici lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang menggelembung karena terisi udara, melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi merupakan salah satu proses individu dalam  mengadaptasikan dan mengoirganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu berkembang.
Seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak memiliki skema bahwa semua binatang berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya terhadap binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan menemukan banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut merasakan bahwa skema lamanya tidak sesuai lagi dan terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan atau lebih dari empat.
Kegiatan belajar mengajar lebih dipandang dari segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang ada. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individual tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaingan sosial yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, meyusun konsep dan member makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang  dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Dalam belajar konstruktivisme guru atau pendidik berperan membantu agar proses membangun pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauanya.
Peran kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi;
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkontruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

D.   Belajar Matematika menurut Paham Konstruktivisme
Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Suherman, 2001) Para ahli konstruktivisme yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas. Selanjut Cobb (Suherman, 2001) mengatakan bahwa belajar matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif menkonstruksi pengetahuan matematika. Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan intelegensinya dalam setting matematika.
Lebih jauh lagi para ahli konstrutivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar,  keterampilan algoritma, proses heuristik dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi . Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dkk (1992) menguraikan bahwa “belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi aktif dalam latihan matematika di kelas.

E.   Pendekatan Deduktif Dalam Teori Belajar Konstruktivisme
Pendekatan deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi ke hal yang khusus. Dalam pendekatan deduktf, tidak menerima generalisasi dari hasil observasi seperti yang diperoleh dari pendekatan induktif. Dasar pendekatan deduktif adalah kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang benar. Kalau begitu bagaimana untuk menyatakan kebenaran yang paling awal?. Untuk mengatasi hal ini dalam pendekatan deduktif memasukkan beberapa pernyataan awal/pangkal sebagai suatu “kesepakatan’, yang diterima kebenarannya tanpa pembuktian, dan istilah/pengertian pangkal yang kita sepakati maknanya. Pengertian pangkal merupakan pengertan yang tidak dapat didefinisikan. Titik, garis, dan bidang merupakan contoh-contoh pengertian pangkal, sebab titik, garis, dan bidang dianggap ada tapi tidak dapat dinyatakan dalam kalimat yang tepat. Pernyataan-pernyataan pangkal yang memuat istilah atau pengertian tersebut dinamakan aksioma atau postulat Dengan pendekatan deduktif dari kumpulan aksioama yang menggunakan pengertian pangkal tersebut, kita dapat sampai kepada teorema-teorema yaitu pernyataan-pernyataan yang benar.
Contoh :
(1)   Sesuatu yang sama dengan sesuatu yang lain, satu sama lain sama
(2)   Jika ditambahkan kepada yang sama maka hasilnya sama.
(3)   Keseluruhan lebih besar bagiannya.
Dari ke tiga contoh aksioma tersebut dapat diperoleh berikut ini
a)      Dari aksioma (1) dan aksioma (2) dapat disusun pernyataan benar sebagai berikut. Jika x = y maka x + a = y + a.
b)      Dari aksioma (3) dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika y bagian dari x maka x > y
Dengan demikian diperoleh, jika x > y, maka x + a > y + a
Contoh penerapan pendekatan deduktif,  jumlah n buah bilangan asli ganjil pertama adalah : nn. Perhatikan pola berikut :
1 = 11
1 + 3 = 4 = 22
1 + 3 + 5 = 9 = 33
1 + 3 + 5 + 7 = 16 = 44
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Secara deduktif pembuktian kebenaran pola itu adalah sebagai berikut (induksi matematika). Jumlah n suku pertama adalah :
1 + 3 + 5 + ... + (2n-1) = nn
Untuk n = 1, persamaan diatas menjadi 1 = 11. Ini benar. Kemudian, andaikan persamaan itu benar untuk n = k, maka :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) = kk
Kita tambahkan 2(k+1) – 1 kepada ruas persamaan terakhir. Maka diperoleh :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) + (2k+1) - 1 = kk + 2(k+1) – 1 = k2 + 2k+1=(k + 1)(k + 1)
bentuk 1 + 3 + 5 + ... + (2k – 1) + 2(k + 1) - 1 = (k + 1)  (k + 1) tidak lain dari bentuk persamaan pertama untuk n = 1, n = k, dan n = k + 1 maka persamaan itu benar untuk semua n bilangan asli
Untuk membuktikan teorema dan menentukan jawab soal yang menggunakan pendekatan deduktif pola berpikirnya sama, yaitu menentukan dulu aturan untuk memberlakukan keadaan khusus hingga didapat kesimpulan. Selanjutnya erat pula kaitannya dengan generalisasi deduktif dalam matematka adalah cara-cara pembuktian dalil / aturan /sifat. Dalil / aturan / sifat dalam matematika merupakan generalisasi yang dapat dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Untuk keperluan itu, ada beberapa macam cara pembuktian yang umumnya sudah jelas terlihat proses deduktifnya, seperti cara modus ponen,modus tolens, implikasi positif, kontra posititif, kontra contoh, bukti tidak langsung, dan induksi matematika (Ruseffendi 1992: 32 ).

F.    Penerapan Metode Demonstrasi dalam Teori Belajar Kontruktivisme
Metode demonstrasi sejenis dengan metode ceramah dan ekspositori. Kegiatan belajar mengajar berpusat pada guru. Tetapi dalam metode demonstrasi aktivitas siswa lebih banyak lagi dilibatkan. Dengan demikian, aktivitas guru menjadi semakin berkurang.
Ciri khas dari metode demonstrasi adalah penonjolan dari suatu kemampuan, misalnya kemampuan guru atau siswa dalam membuktikan teorema, menurunkan rumus, dan menyelesaikan soal cerita. Sedangkan yang berhubungan dengan alat peraga, misalnya penggunaan sepasang segitiga untuk menggambarkan dua garis sejajar atau garis tegak lurus, penggunaan jangka untuk membuat lukisan-lukisan geometri, penggunaan mistar untuk membuat diagram batang/garis atau kalkulator sebagai alat perhitungan dalam matematika.

G.  Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behaviorisme) dan Pembelajaran Konstruktivisme
 Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan teori pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahami dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
 Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
 Berbeda dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivisme lebih luas dan sukar untuk dipahami.
 Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:

Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivisme
1.      Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ketrampilan dasar.
1.         Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.      Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
2.      Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.      Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4.      Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.      Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
5.      Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengmati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.      Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6.      Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja didalam group process.

H.  Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kontruktivisme
 Kelebihan dari teori kontruktivisme, diantaranya :
a.       Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
b.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka.
c.       Memberi siswa kesempatan untuk berfikir lebih mengenai suatu masalah.
d.      Memberi kesempatan siswa untuk selalu mencoba gagasan-gagasan baru dalam menyelesaikan suatu masalah.
Adapun kekurangan dalam teori belajar kontruktivisme, diantaranya :
a.       Perlu adaptasi terlebih dahulu untuk belajar mandiri dalam membangun pengetahuannya.
b.      Ketidaksediaan murid untuk merancang strategi berfikir dan ketidaksediaan murid untuk menilai sendiri suatu masalah menurut pengalamannya.
c.       Kondisi setiap sekolah berbeda-beda dan tidak semua sekolah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk melatih siswa berfikir kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga siswa kurang dapat mengembangkan pengetahuannya. 




BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
 Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Teori belajar konstruktivisme yang berdasarkan pada teori Piaget dan Vigotsky menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan dan adanya pengaruh lingkungan sosial yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba, akan mampu mewujudkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dan berpikir kritis.
 Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terajadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

B.   Saran
Sebaiknya dalam pembelajaran matematika, diterapkan teori belajar kontruktivisme. Hal ini penting, mengingat dengan pendekatan seperti ini, maka siswa akan mampu berpikir lebih kritis dalam menghadapi masalah berupa sejumlah soal. Siswa juga mampu mengembangkan ide-idenya, sehingga membuat daya pikir mereka lebih kritis. Dengan pendekatan kontruktivisme ini, kemandirian siswa juga dapat diwujudkan dalam menyelesaikan permasalahan berbagai macam soal dan mampu mengembangkan konsep-konsep matematika.



DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Erlangga: Jakarta.

Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
          . Bandung: JICA UPI Bandung.